Penguasa Kegelapan
Di sebuah dunia bernama Arcadia, kekuatan sihir adalah segalanya. Setiap anak yang lahir akan diberkati dengan satu jenis sihir, dan mereka akan dilatih seumur hidup untuk menguasainya. Di antara mereka adalah seorang pemuda bernama Caelum, yang sejak lahir telah dianugerahi sihir yang paling tidak dihargai di desanya—Sihir Bayangan.
Sihir Bayangan dianggap tidak berguna. Sementara yang lain bisa mengendalikan api, air, atau bahkan cahaya, Caelum hanya bisa memanipulasi bayangan kecil, dan itu pun dengan susah payah. Di usianya yang ke-17, dia bergabung dengan tim petualang yang terdiri dari teman-teman masa kecilnya: Arven, si penyihir api yang kuat; Lyra, si pemanah dengan penglihatan elang; dan Marek, pejuang yang mampu menghancurkan batu dengan satu pukulan.
Meski Caelum sudah lama menjadi bagian dari kelompok itu, dia selalu merasa seperti beban. Setiap kali mereka menghadapi monster atau memasuki dungeon, dia tidak pernah bisa berbuat banyak. Ketika Arven menembakkan bola api, semua musuh terbakar habis. Ketika Lyra melesatkan anak panahnya, musuh-musuh terkalahkan dengan akurasi sempurna. Dan ketika Marek mengayunkan kapaknya, tanah bergetar. Sementara itu, bayangan yang bisa dikendalikan Caelum tidak pernah membantu. Ketika dia mencoba menggunakan sihirnya, bayangan hanya bergerak tanpa arah, terlalu lemah untuk menyerang atau melindungi.
Suatu malam, setelah gagal dalam misi besar melawan naga berapi, teman-temannya memutuskan bahwa sudah saatnya Caelum pergi.
"Caelum," kata Arven dengan nada serius, "kami sudah mencoba membantumu, tapi sihirmu tidak berguna. Setiap kali kita bertarung, kita harus melindungimu. Kami... kami tidak bisa terus seperti ini."
Lyra menundukkan kepala, terlihat menyesal. "Kamu orang baik, Caelum, tapi di medan perang, kebaikan tidak cukup."
Marek, yang selalu blak-blakan, menambahkan, "Kau akan mati jika terus ikut kami. Mungkin lebih baik kalau kau mencari jalanmu sendiri."
Hati Caelum hancur. Dia telah lama merasa tidak berguna, tapi mendengar kata-kata itu dari teman-teman yang sudah dianggapnya keluarga membuat semuanya terasa jauh lebih sakit. Dia tidak melawan, tidak membela diri. Hanya ada kesedihan mendalam yang menguasai dirinya. Dengan langkah berat, dia meninggalkan timnya, pergi menuju kegelapan malam, ditemani hanya oleh bayangan yang selalu dianggap tak berarti.
Kesepian dan Awal Baru
Hari-hari berlalu, dan Caelum hidup dalam kesendirian di hutan. Dia terus berlatih sihir bayangannya, meskipun tanpa keyakinan. Setiap malam, dia berlatih dalam diam, membentuk bayangan kecil menjadi berbagai bentuk. Hingga suatu malam, di bawah sinar bulan, dia menemukan sesuatu yang aneh. Bayangan bulan di tanah mulai bergerak, seolah mendengarkan perintah hatinya. Untuk pertama kalinya, bayangannya tidak lagi hanya meniru gerakannya—mereka hidup.
Caelum menyadari bahwa sihir bayangannya tidak lemah. Hanya saja, dia belum mengerti cara memanfaatkannya. Bayangan bukanlah sihir untuk menyerang, tetapi sihir untuk bersembunyi, mengintai, dan melindungi. Semakin dia memahami sifat asli sihirnya, semakin kuat bayangan yang bisa dia kendalikan. Dia belajar memanggil bayangan untuk menutupi keberadaannya, menciptakan ilusi, dan bahkan melindungi dirinya dari serangan.
Dungeon Kegelapan dan Sosok Misterius
Suatu hari, setelah berjalan tanpa arah, Caelum tiba di sebuah dungeon terlarang di pinggiran hutan—dikenal sebagai Lembah Kegelapan. Dungeon itu dianggap sebagai tempat di mana mereka yang tak diinginkan atau lemah akan menemui akhir hidup mereka. Tetapi bagi Caelum, tempat itu seolah memanggilnya. Kegelapan di dalam dungeon terasa akrab dengan kekuatan sihir bayangannya.
Dia memutuskan untuk masuk, berharap menemukan sesuatu yang bisa membantunya menjadi lebih kuat atau setidaknya mengakhiri kesepiannya. Namun, semakin dalam dia masuk, semakin aneh dan berbahaya tempat itu. Bayangan-bayangan di dalam dungeon tampak hidup, seperti bernyawa, dan mereka mendekati Caelum seolah menyambutnya sebagai bagian dari mereka.
Saat itulah dia mendengar suara asing, suara manusia.
Di dalam ruangan gelap yang diisi reruntuhan kuno, Caelum menemukan seseorang terikat oleh rantai sihir kuno. Sosok itu duduk diam di pojokan, matanya bersinar merah seperti bara api yang redup, dan kulitnya pucat, lebih pucat dari salju.
“Siapa kau?” tanya Caelum, waspada, namun tak bisa menahan rasa penasaran.
Sosok itu mengangkat kepalanya. "Aku... adalah seorang yang juga dibuang, seperti dirimu." Suaranya terdengar dalam dan berat. “Namaku Selene, dan aku adalah vampir.”
Caelum terkejut. Vampir adalah makhluk yang ditakuti dan dibenci di Arcadia. Mereka dianggap berbahaya dan kejam. Tapi ada sesuatu yang berbeda dari Selene—tatapan matanya penuh rasa sakit, bukan kebencian.
“Mereka membuangmu karena kekuatanmu?” tanya Caelum.
Selene mengangguk. “Desaku menganggapku terlalu berbahaya. Aku tidak pernah ingin menyakiti siapa pun, tapi darahku... darah vampir ini selalu membuatku berbeda.” Dia terdiam sejenak, lalu menatap Caelum dengan intens. “Dan kau? Apa yang membawamu ke sini?”
“Sihirku lemah,” jawab Caelum. “Teman-temanku membuangku karena aku tak bisa membantu mereka. Mereka bilang aku terlalu lemah untuk bertahan di medan perang.”
Selene tersenyum tipis. “Mereka salah. Kegelapan yang ada di dungeon ini... ia memperkuat yang lemah. Kau dan aku, kita bukanlah makhluk yang tak berguna. Kita hanya berbeda.”
Caelum merasakan sebuah hubungan dalam kata-katanya. Keduanya adalah makhluk yang diabaikan dan ditolak karena kekuatan yang tidak dipahami. Dengan bantuan Selene, Caelum mulai berlatih lebih keras di dalam dungeon itu. Selene mengajarkan Caelum cara menggunakan bayangan untuk melawan, menciptakan ilusi, dan bahkan memanggil bayangan untuk melindungi dirinya dari serangan.
Selene, yang juga dikucilkan karena kekuatannya sebagai vampir, mulai menemukan kenyamanan dalam kebersamaan mereka. Sementara Caelum semakin memahami bahwa kekuatan yang selama ini dia abaikan ternyata adalah sumber kekuatan sejatinya, Selene mengajarkan bahwa menerima kegelapan bukanlah sesuatu yang buruk.
Pertarungan Terakhir
Suatu hari, Caelum mendengar kabar bahwa tim lamanya sedang dalam bahaya besar. Mereka telah terperangkap di dalam sebuah dungeon lain, menghadapi makhluk kegelapan yang tak terkalahkan, yang hanya bisa dilawan oleh kekuatan bayangan. Hatinya bertentangan. Meski telah disakiti, dia merasa punya tanggung jawab untuk menyelamatkan mereka.
Dengan kekuatan baru yang telah dia pelajari bersama Selene, Caelum menyusup ke medan pertempuran. Bayangan di bawah kendalinya mengalir seperti air, menyelimuti medan dan melindungi dirinya dari serangan. Saat dia tiba, tim lamanya sudah hampir kalah.
"Caelum..." bisik Lyra saat melihatnya muncul dari kegelapan. Mereka hanya bisa terpana saat sosok bayangan besar muncul dan melindungi mereka dari serangan makhluk kegelapan.
Dengan satu gerakan, Caelum mengendalikan bayangan di sekeliling mereka, mengurung makhluk itu hingga hancur.
“Caelum,” Arven menunduk dengan rasa bersalah. “Kami salah. Kau lebih kuat dari yang kami kira.”
Caelum hanya tersenyum tipis, tanpa dendam. “Kekuatan tidak selalu datang dari terang. Terkadang, kekuatan sejati tersembunyi dalam kegelapan.”
Caelum dan Selene meninggalkan medan perang itu bersama, menjadi legenda yang dikenal sebagai Penguasa Kegelapan, pahlawan yang kekuatannya tidak berasal dari cahaya terang, tetapi dari kegelapan yang menyelimuti dan melindungi mereka.
0 Comments:
Posting Komentar